Kamis, 27 Desember 2012

Gambaran Stress dan Coping pada Mahasiswa Baru



Latar Belakang
Masa transisi dari sekolah menengah atas ke dunia universitas merupakan masa yang sulit. Disebut masa yang sulit sebab dalam masa ini seseorang dihadapkan dengan sejumlah perubahan terkait dengan pemikiran, hubungan dengan orang lain, dan sistem pembelajaran baru. Mahasiswa baru merupakan status yang disandang oleh mereka yang berada dalam masa tersebut.  Memasuki dunia perkuliahan merupakan suatu perubahan besar pada hidup seseorang. Biasanya individu mengalami banyak perubahan kondisi ditahun pertamanya ketika memasuki perguruan tinggi. Hal ini terkait dengan penyesuaian diri yang merupakan masalah berat yang harus dihadapi setiap individu ketika memasuki dunia kuliah.
Dalam proses penyesuaian diri terhadap dunia perkuliahan, mahasiswa terkadang mengalami banyak kendala yang membuat mereka stress. Penyebab stress tersebut berbeda setiap individu. Mereka harus menghadapi norma dan budaya baru, teman kelompok baru, tugas yang banyak, serta perubahan gaya hidup yang menuntut waktu serta self control yang lebih banyak dibandingkan pada masa sekolah menengah atas.
Untuk bertahan dari kondisi stress, mahasiswa baru memerlukan suatu strategi yang disebut dengan strategi coping. Coping diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan individu dalam menghadapi situasi penyebab stress. Coping memiliki dua fungsi, yaitu menyelesaikan masalah yang menyebabkan stress dan mengatur respon emosi dalam menghadapi stress tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas, saya tertarik untuk melakukan penelitian terhadap beberapa masalah penyebab stress pada mahasiswa baru di Universitas Paramadina dan analisis strategi coping yang mereka lakukan untuk menghadapi stressor tersebut.
Landasan Teori
A.    Stress
Terdapat tiga defenisi stress dalam tiga konteks yaitu sebagai respon, sebagai stimulus dan transaksional. Menurut Seyle (Sholichatun, 2011) respon stress organisme mewakili serangkaian respon fisiologis yang bersifat umum, yang dialami oleh semua organisme yang bertemu dengan tantangan atau kesulitan. Berdasarkan perspektif ini, respon stress tidak bersifat spesifik, hal ini dikarenakan tipe stressor yang dialami tidak mempengaruhi pola respon. Seyle mengistilahkan respon non spesifik ini dengan General Adaption Syndrome yang terdiri dari tiga fase yaitu alarm reaction, resistance, dan exhaustion
Respon stress individu terhadap stressor lingkungan dapat ditunjukkan dari kondisi fisiologis, kognitif, afektif serta perilakunya (Sholichatun, 2011). Secara fisiologis respon stress yang ditunjukkan oleh individu misalnya ketegangan otot serta rendahnya kondisi imunitas yang ditandai dengan mudahnya terjadi infeksi bakteri atau virus. Respon stress secara kognitif ditunjukkan dalam melemahnya konsentrasi, cemas, serta keputusasaan atau pesimisme. Respon stress secara perilaku tampak dalam kecendrungan agresi, mudah tersinggung, serta menarik diri. Sedangkan respon stress secara afektif ditampakkan dalam bentuk kemarahan, rasa bersalah dan rasa takut.
Nevid menggunakan stress sebagai sebuah stimulus (Sholichatun, 2011). Menurut Nevid perubahan hidup dapat menjadi sumber stress bila perubahan tersebut menuntut individu untuk menyesuaikan diri. Perubahan hidup dapat berupa peristiwa atau kondisi yang menyenangkan maupun menyedihkan.
Perspektif ketiga dalam mendefenisikan stress bertolak dari pandangan bahwa stress merupakan interaksi individu dengan lingkungan, ketika bahaya dan ancaman lingkungan tinggi sementara kemampuan dan sumber daya yang dimiliki individu rendah maka akan menimbulkan stress pada individu yang bersangkutan. Lazarus dan Folkman menjelaskan tentang teori transaksional stress (Sholichatun, 2011) yang menekankan pentingnya stressor maupun respon stress dalam menjelaskan hubungan antara stress dan kondisi akibat stress. Menurut teori ini stress dapat menjadi stressor baru yang memunculkan respon stress yang lebih intens. Bukan hanya stressor semata yang mempengaruhi stress tetapi juga respon individu yang membatasi apakah sebuah siklus reaksi stress akan berkembang. Penilaian terhadap realitas merupakan faktor penentu pula apakah kondisi kehidupan yang dihadapi akan memunculkan stress atau tidak. Karena itu stress didefinisikan sebagai sebuah hubungan antara kejadian-kejadian atau kondisi-kondisi lingkungan dengan penilaian kognitif individu terhadap tingkat dan tipe tantangan, kesulitan, kehilangan maupun ancaman (Sholichatun, 2011).
B.     Coping
Menurut Greenglass, et al (Kertamuda & Herdiansyah, 2009), perilaku coping yaitu suatu cara yang dilakukan individu untuk menghadapi dan mengantisipasi situasi serta kondisi yang bersifat menekan atau mengancam baik fisik maupun psikis.
 Lazarus dan Folkman (Kertamuda & Herdiansyah, 2009) juga turut mengemukakan pendapatnya mengenai istilah coping. Lazarus dan Folkman mendefinisikan coping sebagai upaya merubah domain kognitif dan perilaku secara konstan untuk mengatur dan mengendalikan tuntutan dan tekanan eksternal maupun internal yang diprediksi akan dapat membebani dan melampaui kemampuan dan ketahanan individu yang bersangkutan.
Selanjutnya Taylor (Kertamuda & Herdiansyah, 2009) menambahkan mengenai tuntutan eksternal maupun internal yang dihadapi individu. Taylor berpendapat bahwa pengaturan terhadap tuntutan eksternal dan internal pada individu tersebut meliputi usaha untuk menguasai kondisi yang ada, menerima kondisi yang dihadapi, melemahkan atau memperkecil masalah yang dihadapi.
Dari beberapa pengertian mengenai coping di atas, dalam penelitian ini disimpulkan bahwa strategi coping adalah suatu proses tertentu yang disertai dengan suatu usaha yang dilakukan individu untuk menghadapi dan mengantisipasi situasi dan kondisi yang bersifat menekan atau mengancam baik fisik maupun psikis yang diprediksi akan dapat membebani dan melampaui kemampuan serta ketahanan individu yang bersangkutan. Proses tersebut dapat berupa menguasai kondisi yang ada, menerima kondisi yang dihadapi, melemahkan atau memperkecil masalah yang dihadapi.


C.    Bentuk-Bentuk Strategi Coping
Dari berbagai bentuk strategi coping yang dilakukan, para ahli mencoba merangkum dan merumuskannya menjadi suatu teori tentang strategi coping. Salah satu teori yang populer mengenai strategi coping adalah teori yang dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman. Menurut Lazarus dan Folkman (Kertamuda & Herdiansyah, 2009), secara umum, strategi coping dibagi ke dalam dua kategori utama yaitu :
1.      Problem-focused coping
Merupakan salah satu bentuk coping yang lebih berorientasi pada pemecahan masalah, meliputi usaha-usaha untuk mengatur atau mengubah kondisi objektif yang merupakan hambatan dalam penyesuaian diri atau melakukan sesuatu untuk mengubah hambatan tersebut. Problem focused coping merupakan strategi yang bersifat eksternal. Dalam problem focused coping orientasi utamanya adalah mencari dan menghadapi pokok permasalahan dengan cara mempelajari strategi atau keterampilan-keterampilan baru dalam rangka mengurangi stressor yang dihadapi atau dirasakan.
2.      Emotion-focused coping
Merupakan usaha-usaha untuk mengurangi atau mengatur emosi dengan cara menghindari berhadapan langsung dengan stressor. Emotional focused coping merupakan strategi yang bersifat internal. Dalam emotional focused coping, terdapat kecendrungan untuk lebih memfokuskan diri dan melepaskan emosi yang berfokus pada kekecewaan ataupun distress yang dialami dalam rangka untuk melepaskan emosi atau perasaan tersebut. Carver (Kertamuda & Herdiansyah, 2009) menjelaskan bahwa respon lain yang diyakini sebagai bagian dari emotional focused coping adalah ketidaksesuaian perilaku (behavioral disengagement). Behavioral disengagement merupakan upaya seseorang untuk mengurangi stressor dengan cara menyerah pada situasi. Behavioral disengagement seringkali diistilahkan sebagai ketidakberdayaan. Ketidakberdayaan ini akan diikuti oleh ketidaksesuaian mental (mental disengagement), individu dalam hal ini biasanya melakukan aktivitas yang tidak ada hubungannya dengan permasalahan yang sedang dihadapi, misalnya, mendengar musik, menonton, dan lain sebagainya.
Hasil Wawancara
Untuk mengetahui penyebab dan cara mereka bertahan dalam menghadapi stress pada mahasiswa baru, maka dilakukan wawancara kepada tiga partisipan yang merupakan mahasiswa baru di Universitas Paramadina dan diperoleh hasil sebagai berikut :
Partisipan
Stressor
Coping Strategies
Jenis Coping Strategies
A
(perempuan)
1.      Banyak tugas
Mendengarkan musik
Emotional focused
2.      Panitia pada Event Management Cup
Ikut menonton pertandingan
Problem focused
3.      Rindu keluarga
Shalat malam
Emotional focused
B
(laki-laki)
1.      Tugas deadline
Berkumpul dan main dengan teman
Emotional focused
2.      UTS
Mendengar musik, menonton, dan main PS
Emotional focused
3.      Belum bisa melupakan mantan
Mendengar lagu yang menyimpan kenangan tersendiri dengan mantan
Emotional focused
C
(perempuan)
1.      UTS
Menonton
Emotional focused
2.      Masalah dengan pacar
Menelfon teman
Emotional focused
3.      Tempat tinggal yang kurang nyaman
Tidur
Emotional focused


Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa partisipan A memilih strategi emotional focused coping dalam menghadapi tugas-tugas kuliah yang menumpuk, yaitu dengan cara mendengarkan musik. Hal ini dilakukannya dengan tujuan menenangkan pikiran. Selain masalah tugas, partisipan A juga sering merasakan kerinduan kepada orang tuanya di desa, dia pun memilih strategi emotional focused coping dalam menghadapi stressor ini, yaitu dengan melaksanakan shalat malam yang bertujuan untuk menenangkan hati dan pikirannya. Stressor selanjutnya yang dirasakan partisipan A bersumber dari keikutsertaannya dalam kepanitiaan Event Management Cup yang dilaksanakan oleh pihak kampus. Hal ini merupakan stressor baru bagi partisipan A, sebab dia belum pernah terlibat dalam kegiatan sejenis ini di bangku sekolah. Partisipan A pun memilih strategi problem focused coping dalam menghadapi urusan kepanitiaan ini, yaitu dengan cara ikut menonton dan menikmati permainan yang berlangsung dengan tujuan mengurangi stress yang dirasakan.
Pada partisipan B, tugas kuliah yang lebih banyak dibandingkan dengan tugas semasa SMA merupakan salah satu stressor beberapa minggu belakangan ini. Sama dengan partisipan A, partisipan B pun memilih strategi emotional focused coping dalam menghadapi masalah tugas perkuliahan. Partisipan B memilih berkumpul, bermain dan bersenang-senang bersama teman-temannya untuk mengurangi beban pikirannya. UTS juga menjadi salah satu stressor pada partisipan B, dimana sistem penilaian ujian di dunia perkuliahan yang lebih menuntut pendapat pribadi sangat jauh berbeda dengan sistem penilaian di masa SMA yang masih berpedoman pada teori. Partisipan B memilih strategi emotional focused coping dalam menghadapi masalah UTS, yaitu dengan mendengarkan musik, menonton televisi seharian, atau bermain PS. Partisipan B melakukan hal ini dengan tujuan menenangkan dan mengalihkan pikiran sejenak dari masalah UTS. Stressor yang dialami partisipan B selanjutnya adalah mantan. Sampai saat ini partisipan B belum bisa melupakan mantan kekasihnya. Partisipan B memilih strategi emotional focused coping dalam meghadapi masalah yang satu ini, yaitu dengan mendengarkan lagu-lagu yang memiliki kenangan tersendiri dengan sang mantan. Hal ini bertujuan untuk menenangkan perasaannya dan mengontrol emosi negatif yang ada dalam benaknya.
Selanjutnya, diketahui bahwa partisipan C memilih strategi emotional focused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang membuatnya merasa stress. Sama halnya dengan partisipan B, partisipan C juga mengeluhkan masalah UTS yang dianggapnya sangat sulit. Partisipan C mengalihkan pikirannya dari masalah UTS yang membuatnya stress dengan cara menonton televisi. Selain masalah UTS, partisipan C juga mengalami masalah dengan pacarnya. Dia memilih menyibukkan diri dengan menelfon teman untuk mencegah perkembangan emosi-emosi negatif  dan untuk mengalihkan perhatiannya dari masalah dengan pasangan (pacar). Masalah yang dihadapi partisipan C selanjutnya adalah masalah tempat tinggal (asrama). partisipan C beranggapan tempat tinggalnya terasa sempit dan tidak nyaman. Menghadapi masalah ini, partisipan C masih tetap mengandalkan emotional focused coping, dia pun memilih tidur dalam menghadapi masalah ketidaknyamanan tempat tinggal ini. Kegiatan ini bertujuan untuk mengalihkan pikirannya dari hal-hal yang mungkin bisa membuat tingkat stressnya semakin parah.
Kesimpulan
Dari hasil wawancara yang dilakukan pada tiga mahasiswa baru dapat disimpulkan bahwa sebagian besar penyebab stress yang mereka hadapi berkaitan dengan masa transisi mereka dari sekolah menengah atas ke dunia universitas. Penyebab stress tersebut yaitu tugas, UTS, dan kegiatan perkuliahan. Tugas membuat mereka stress sebab tugas yang diperoleh pada bangku perkuliahan tidak semudah tugas yang mereka dapatkan saat masih duduk di bangku sekolahan. UTS dan kegiatan perkuliahan yang mereka jalankanpun memiliki sistem yang berbeda dengan kegiatan semasa SMA. Oleh karena itu mahasiswa baru harus mulai beradaptasi dengan penyebab stress tersebut, agar stress tersebut dijadikan sebuah kebiasaan yang  mereka hadapi di dunia universitas.
Sebagian besar dari mahasiswa baru ini memilih strategi emotional focused coping dalam menghadapi stressor-stressor yang mereka jumpai. Hal ini mereka lakukan dengan tujuan menenangkan pikiran dan mengalihkan perhatian dari masalah-masalah yang mungkin bisa memicu emosi negatif.





Daftar Pustaka
Kertamuda, F., & Herdiansyah, H. (2009). Pengaruh Strategi Coping terhadap Penyesuaian Diri Mahasiswa Baru. Jurnal Universitas Paramadina, Vol.06, No. 01;  11-23.
Yulia, S. (2011). Stress dan Strategi Coping pada Anak Didik di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Jurnal Psikologi Islam, Vol.08, No. 01; 23-42.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar