Latar
Belakang
Masa
transisi dari sekolah menengah atas ke dunia universitas merupakan masa yang
sulit. Disebut masa yang sulit sebab dalam masa ini seseorang dihadapkan dengan
sejumlah perubahan terkait dengan pemikiran, hubungan dengan orang lain, dan
sistem pembelajaran baru. Mahasiswa baru merupakan status yang disandang oleh
mereka yang berada dalam masa tersebut. Memasuki dunia perkuliahan merupakan suatu
perubahan besar pada hidup seseorang. Biasanya individu mengalami banyak
perubahan kondisi ditahun pertamanya ketika memasuki perguruan tinggi. Hal ini
terkait dengan penyesuaian diri yang merupakan masalah berat yang harus
dihadapi setiap individu ketika memasuki dunia kuliah.
Dalam
proses penyesuaian diri terhadap dunia perkuliahan, mahasiswa terkadang
mengalami banyak kendala yang membuat mereka stress. Penyebab stress tersebut
berbeda setiap individu. Mereka harus menghadapi norma dan budaya baru, teman
kelompok baru, tugas yang banyak, serta perubahan gaya hidup yang menuntut waktu
serta self control yang lebih banyak
dibandingkan pada masa sekolah menengah atas.
Untuk
bertahan dari kondisi stress,
mahasiswa baru memerlukan suatu strategi yang disebut dengan strategi coping. Coping diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan individu dalam
menghadapi situasi penyebab stress. Coping memiliki dua fungsi, yaitu
menyelesaikan masalah yang menyebabkan stress
dan mengatur respon emosi dalam menghadapi stress
tersebut.
Berdasarkan
penjelasan di atas, saya tertarik untuk melakukan penelitian terhadap beberapa
masalah penyebab stress pada
mahasiswa baru di Universitas Paramadina dan analisis strategi coping yang mereka lakukan untuk
menghadapi stressor tersebut.
Landasan
Teori
A. Stress
Terdapat
tiga defenisi stress dalam tiga
konteks yaitu sebagai respon, sebagai stimulus dan transaksional. Menurut Seyle
(Sholichatun, 2011) respon stress
organisme mewakili serangkaian respon fisiologis yang bersifat umum, yang
dialami oleh semua organisme yang bertemu dengan tantangan atau kesulitan.
Berdasarkan perspektif ini, respon stress
tidak bersifat spesifik, hal ini dikarenakan tipe stressor yang dialami tidak mempengaruhi pola respon. Seyle
mengistilahkan respon non spesifik ini dengan General Adaption Syndrome yang terdiri dari tiga fase yaitu alarm reaction, resistance, dan exhaustion
Respon
stress individu terhadap stressor lingkungan dapat ditunjukkan
dari kondisi fisiologis, kognitif, afektif serta perilakunya (Sholichatun,
2011). Secara fisiologis respon stress
yang ditunjukkan oleh individu misalnya ketegangan otot serta rendahnya kondisi
imunitas yang ditandai dengan mudahnya terjadi infeksi bakteri atau virus.
Respon stress secara kognitif
ditunjukkan dalam melemahnya konsentrasi, cemas, serta keputusasaan atau
pesimisme. Respon stress secara
perilaku tampak dalam kecendrungan agresi, mudah tersinggung, serta menarik
diri. Sedangkan respon stress secara
afektif ditampakkan dalam bentuk kemarahan, rasa bersalah dan rasa takut.
Nevid
menggunakan stress sebagai sebuah
stimulus (Sholichatun, 2011). Menurut Nevid perubahan hidup dapat menjadi
sumber stress bila perubahan tersebut
menuntut individu untuk menyesuaikan diri. Perubahan hidup dapat berupa
peristiwa atau kondisi yang menyenangkan maupun menyedihkan.
Perspektif
ketiga dalam mendefenisikan stress
bertolak dari pandangan bahwa stress
merupakan interaksi individu dengan lingkungan, ketika bahaya dan ancaman
lingkungan tinggi sementara kemampuan dan sumber daya yang dimiliki individu
rendah maka akan menimbulkan stress
pada individu yang bersangkutan. Lazarus dan Folkman menjelaskan tentang teori
transaksional stress (Sholichatun,
2011) yang menekankan pentingnya stressor
maupun respon stress dalam
menjelaskan hubungan antara stress
dan kondisi akibat stress. Menurut
teori ini stress dapat menjadi stressor baru yang memunculkan respon stress yang lebih intens. Bukan hanya stressor semata yang mempengaruhi stress tetapi juga respon individu yang
membatasi apakah sebuah siklus reaksi stress
akan berkembang. Penilaian terhadap realitas merupakan faktor penentu pula
apakah kondisi kehidupan yang dihadapi akan memunculkan stress atau tidak. Karena itu stress
didefinisikan sebagai sebuah hubungan antara kejadian-kejadian atau
kondisi-kondisi lingkungan dengan penilaian kognitif individu terhadap tingkat
dan tipe tantangan, kesulitan, kehilangan maupun ancaman (Sholichatun, 2011).
B. Coping
Menurut Greenglass, et al (Kertamuda & Herdiansyah, 2009), perilaku coping yaitu suatu cara yang dilakukan
individu untuk menghadapi dan mengantisipasi situasi serta kondisi yang
bersifat menekan atau mengancam baik fisik maupun psikis.
Lazarus dan Folkman (Kertamuda & Herdiansyah, 2009) juga turut
mengemukakan pendapatnya mengenai istilah coping.
Lazarus dan Folkman mendefinisikan coping
sebagai upaya merubah domain kognitif dan perilaku secara konstan untuk
mengatur dan mengendalikan tuntutan dan tekanan eksternal maupun internal yang
diprediksi akan dapat membebani dan melampaui kemampuan dan ketahanan individu
yang bersangkutan.
Selanjutnya
Taylor (Kertamuda & Herdiansyah, 2009) menambahkan mengenai
tuntutan eksternal maupun internal yang dihadapi individu. Taylor berpendapat
bahwa pengaturan terhadap tuntutan eksternal dan internal pada individu
tersebut meliputi usaha untuk menguasai kondisi yang ada, menerima kondisi yang
dihadapi, melemahkan atau memperkecil masalah yang dihadapi.
Dari
beberapa pengertian mengenai coping
di atas, dalam penelitian ini disimpulkan bahwa strategi coping adalah suatu proses tertentu yang disertai dengan suatu
usaha yang dilakukan individu untuk menghadapi dan mengantisipasi situasi dan
kondisi yang bersifat menekan atau mengancam baik fisik maupun psikis yang
diprediksi akan dapat membebani dan melampaui kemampuan serta ketahanan
individu yang bersangkutan. Proses tersebut dapat berupa menguasai kondisi yang
ada, menerima kondisi yang dihadapi, melemahkan atau memperkecil masalah yang
dihadapi.
C. Bentuk-Bentuk Strategi Coping
Dari
berbagai bentuk strategi coping yang
dilakukan, para ahli mencoba merangkum dan merumuskannya menjadi suatu teori
tentang strategi coping. Salah satu
teori yang populer mengenai strategi coping
adalah teori yang dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman. Menurut Lazarus dan
Folkman (Kertamuda & Herdiansyah, 2009), secara umum,
strategi coping dibagi ke dalam dua
kategori utama yaitu :
1.
Problem-focused
coping
Merupakan salah satu bentuk coping yang lebih berorientasi pada
pemecahan masalah, meliputi usaha-usaha untuk mengatur atau mengubah kondisi
objektif yang merupakan hambatan dalam penyesuaian diri atau melakukan sesuatu
untuk mengubah hambatan tersebut. Problem
focused coping merupakan strategi yang bersifat eksternal. Dalam problem focused coping orientasi
utamanya adalah mencari dan menghadapi pokok permasalahan dengan cara
mempelajari strategi atau keterampilan-keterampilan baru dalam rangka
mengurangi stressor yang dihadapi
atau dirasakan.
2.
Emotion-focused
coping
Merupakan usaha-usaha untuk mengurangi atau mengatur
emosi dengan cara menghindari berhadapan langsung dengan stressor. Emotional focused
coping merupakan strategi yang bersifat internal. Dalam emotional focused coping, terdapat
kecendrungan untuk lebih memfokuskan diri dan melepaskan emosi yang berfokus
pada kekecewaan ataupun distress yang
dialami dalam rangka untuk melepaskan emosi atau perasaan tersebut. Carver (Kertamuda & Herdiansyah, 2009) menjelaskan bahwa
respon lain yang diyakini sebagai bagian dari emotional focused coping adalah ketidaksesuaian perilaku (behavioral disengagement). Behavioral disengagement merupakan upaya
seseorang untuk mengurangi stressor
dengan cara menyerah pada situasi. Behavioral
disengagement seringkali diistilahkan sebagai ketidakberdayaan.
Ketidakberdayaan ini akan diikuti oleh ketidaksesuaian mental (mental disengagement), individu dalam
hal ini biasanya melakukan aktivitas yang tidak ada hubungannya dengan
permasalahan yang sedang dihadapi, misalnya, mendengar musik, menonton, dan
lain sebagainya.
Hasil
Wawancara
Untuk mengetahui penyebab dan cara
mereka bertahan dalam menghadapi stress
pada mahasiswa baru, maka dilakukan wawancara kepada tiga partisipan yang
merupakan mahasiswa baru di Universitas Paramadina dan diperoleh hasil sebagai
berikut :
Partisipan
|
Stressor
|
Coping Strategies
|
Jenis Coping Strategies
|
A
(perempuan)
|
1. Banyak
tugas
|
Mendengarkan musik
|
Emotional
focused
|
2. Panitia
pada Event Management Cup
|
Ikut menonton pertandingan
|
Problem
focused
|
3. Rindu
keluarga
|
Shalat malam
|
Emotional
focused
|
B
(laki-laki)
|
1.
Tugas deadline
|
Berkumpul dan main
dengan teman
|
Emotional
focused
|
2.
UTS
|
Mendengar musik,
menonton, dan main PS
|
Emotional
focused
|
3.
Belum bisa melupakan mantan
|
Mendengar lagu yang
menyimpan kenangan tersendiri dengan mantan
|
Emotional
focused
|
C
(perempuan)
|
1.
UTS
|
Menonton
|
Emotional
focused
|
2. Masalah
dengan pacar
|
Menelfon teman
|
Emotional
focused
|
3. Tempat
tinggal yang kurang nyaman
|
Tidur
|
Emotional
focused
|
Dari
tabel di atas dapat diketahui bahwa partisipan A memilih strategi emotional focused coping dalam
menghadapi tugas-tugas kuliah yang menumpuk, yaitu dengan cara mendengarkan musik.
Hal ini dilakukannya dengan tujuan menenangkan pikiran. Selain masalah tugas, partisipan
A juga sering merasakan kerinduan kepada orang tuanya di desa, dia pun memilih
strategi emotional focused coping
dalam menghadapi stressor ini, yaitu
dengan melaksanakan shalat malam yang bertujuan untuk menenangkan hati dan pikirannya.
Stressor selanjutnya yang dirasakan
partisipan A bersumber dari keikutsertaannya dalam kepanitiaan Event Management Cup yang dilaksanakan
oleh pihak kampus. Hal ini merupakan stressor
baru bagi partisipan A, sebab dia belum pernah terlibat dalam kegiatan sejenis
ini di bangku sekolah. Partisipan A pun memilih strategi problem focused coping dalam menghadapi urusan kepanitiaan ini,
yaitu dengan cara ikut menonton dan menikmati permainan yang berlangsung dengan
tujuan mengurangi stress yang
dirasakan.
Pada
partisipan B, tugas kuliah yang lebih banyak dibandingkan dengan tugas semasa
SMA merupakan salah satu stressor
beberapa minggu belakangan ini. Sama dengan partisipan A, partisipan B pun
memilih strategi emotional focused coping
dalam menghadapi masalah tugas perkuliahan. Partisipan B memilih berkumpul,
bermain dan bersenang-senang bersama teman-temannya untuk mengurangi beban
pikirannya. UTS juga menjadi salah satu stressor
pada partisipan B, dimana sistem penilaian ujian di dunia perkuliahan yang
lebih menuntut pendapat pribadi sangat jauh berbeda dengan sistem penilaian di
masa SMA yang masih berpedoman pada teori. Partisipan B memilih strategi emotional focused coping dalam
menghadapi masalah UTS, yaitu dengan mendengarkan musik, menonton televisi
seharian, atau bermain PS. Partisipan B melakukan hal ini dengan tujuan
menenangkan dan mengalihkan pikiran sejenak dari masalah UTS. Stressor yang dialami partisipan B
selanjutnya adalah mantan. Sampai saat ini partisipan B belum bisa melupakan
mantan kekasihnya. Partisipan B memilih strategi emotional focused coping dalam meghadapi masalah yang satu ini,
yaitu dengan mendengarkan lagu-lagu yang memiliki kenangan tersendiri dengan
sang mantan. Hal ini bertujuan untuk menenangkan perasaannya dan mengontrol
emosi negatif yang ada dalam benaknya.
Selanjutnya,
diketahui bahwa partisipan C memilih strategi emotional focused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang
membuatnya merasa stress. Sama halnya
dengan partisipan B, partisipan C juga mengeluhkan masalah UTS yang dianggapnya
sangat sulit. Partisipan C mengalihkan pikirannya dari masalah UTS yang
membuatnya stress dengan cara
menonton televisi. Selain masalah UTS, partisipan C juga mengalami masalah
dengan pacarnya. Dia memilih menyibukkan diri dengan menelfon teman untuk
mencegah perkembangan emosi-emosi negatif
dan untuk mengalihkan perhatiannya dari masalah dengan pasangan (pacar).
Masalah yang dihadapi partisipan C selanjutnya adalah masalah tempat tinggal
(asrama). partisipan C beranggapan tempat tinggalnya terasa sempit dan tidak
nyaman. Menghadapi masalah ini, partisipan C masih tetap mengandalkan emotional focused coping, dia pun
memilih tidur dalam menghadapi masalah ketidaknyamanan tempat tinggal ini. Kegiatan
ini bertujuan untuk mengalihkan pikirannya dari hal-hal yang mungkin bisa
membuat tingkat stressnya semakin
parah.
Kesimpulan
Dari
hasil wawancara yang dilakukan pada tiga mahasiswa baru dapat disimpulkan bahwa
sebagian besar penyebab stress yang
mereka hadapi berkaitan dengan masa transisi mereka dari sekolah menengah atas
ke dunia universitas. Penyebab stress
tersebut yaitu tugas, UTS, dan kegiatan perkuliahan. Tugas membuat mereka stress sebab tugas yang diperoleh pada
bangku perkuliahan tidak semudah tugas yang mereka dapatkan saat masih duduk di
bangku sekolahan. UTS dan kegiatan perkuliahan yang mereka jalankanpun memiliki
sistem yang berbeda dengan kegiatan semasa SMA. Oleh karena itu mahasiswa baru
harus mulai beradaptasi dengan penyebab stress
tersebut, agar stress tersebut
dijadikan sebuah kebiasaan yang mereka
hadapi di dunia universitas.
Sebagian
besar dari mahasiswa baru ini memilih strategi emotional focused coping dalam menghadapi stressor-stressor yang
mereka jumpai. Hal ini mereka lakukan dengan tujuan menenangkan pikiran dan
mengalihkan perhatian dari masalah-masalah yang mungkin bisa memicu emosi
negatif.
Daftar
Pustaka
Kertamuda, F., & Herdiansyah, H. (2009). Pengaruh
Strategi Coping terhadap Penyesuaian
Diri Mahasiswa Baru. Jurnal Universitas Paramadina, Vol.06, No. 01; 11-23.
Yulia, S. (2011). Stress
dan Strategi Coping pada Anak Didik
di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Jurnal Psikologi Islam, Vol.08, No. 01; 23-42.