Minggu, 30 Desember 2012

Social Interactions and Entertaiment


[FRONTAL-AAM] "ANDAI AKU MENJADI MENTERI PENDIDIKAN”
Sejarah pendirian bangsa Indonesia menggambarkan perjuangan dan semangat para pendiri bangsa untkmencapai tujuannya mewujudkan suatu negara yang merdeka. Pencapaiannya pun membutuhkan proses yang berliku, bukan hanya air mata dan harta tapi darah pun ikut tertumpah mengiringi sejarah negeri ini. Namun kenyataan di negeri kita saat ini masih sangat jauh dari harapan para pendiri bangsa. Hal ini disebabkan kurangnya kesadaran generasi penerus untuk berpartisipasi dalam memajukan Indonesia.
Dewasa ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi rasanya tidak dibarengi oleh penanaman nilai-nilai moral dan etika oleh masyarakat, sehingga berdampak pada banyaknya kasus-kasus yang merugikan negara kita serta menurunkan tingkat kualitas negeri ini. Sebagai salah satu generasi bangsa tentunya saya merasa sangat prihatin terhadap keadaan negeri ini yang semakin memburuk. Kondisi seperti ini tentunya tidak bisa dibiarkan terus berlanjut. Saya sebagai agent of change, agent of idea, bahkan agent of resolution merasa perlu mengadakan perubahan yang berarti bagi bangsa, yang nantinya dapat mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang unggul dengan tetap memegang teguh nilai moral dan etika. Saya sangat mencintai tanah air Indonesia, tanah tempat kelahiranku, tanah yang menyediakan segala makanan yang menjadi sumber kehidupan saya dan sebagai wujud terima kasih saya bagi negeri ini saya berjanji akan mengabdikan seluruh sisa hidup saya bagi Indonesia.
Cita-cita terbesar saya adalah menjadi salah satu dari sekian banyak anak bangsa yang member kontribusi positif bagi kemajuan Indonesia.  Untuk itu jika saya kelak menjabat sebagai menteri pendidikan, saya akan mengaplikasikan segenap ilmu yang saya miliki untuk kemajuan bangsa ini. Saya sebagai seorang sarjana psikologi akan mengamati penyebab segala tingkah laku positif dan negatif manusia. Sehingga nantinya saya menemukan titik akar yang mampu mengembangkan pola tingkah laku positif yang sekaligus meminimalisir pola tingkah laku negatif dari masyarakat secara menyeluruh. dan langkah yang akan saya ambil dalam mencapai tujuan saya tersebut adalah dengan mengubah kurikulum pembelajaran yang tidak hanya menitik beratkan pada kemampuan intelektual, namun juga unggul dalam bidang emosional dan spiritual para generasi bangsa yang berharga. sehingga nantinya tercipta generasi bangsa yang cerdas dan bermoral yang mampu berpartisipasi dalam aktivitas positif yang dapat memajukan negeri Indonesia.
Dengan segenap ilmu dan wewenang yang saya miliki, saya akan merumuskan program-program kegiatan dan gerakan kependidikan yang dapat membantu generasi bangsa  dalam membentuk dan menanamkan nilai kejujuran, dan rasa tanggung jawab  yang selama ini diabaikan atau bahkan dilupakan oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia. Sehingga nantinya tercipta indidual-individual unggul yang bersama-sama siap untuk memajukan Indonesia.
Jadi, dengan penyeimbangan tiga elemen kecerdasan, masyarakat Indonesia akan  mampu memperbaiki keadaan negeri ini, dan bersama sama turut berpartisipasi dalam aktivitas positif yang bertujuan untuk memajukan dan mengharumkan nama baik Indonesia. Sehingga nantinya terlahirlah negeri Indonesia yang bermasyarakat unggul  dan berkualitas.

Kamis, 27 Desember 2012

Dapatkah Meditasi Mengurangi Ketergantungan Obat?


Manusia seringkali diperhadapkan dengan berbagai macam masalah dalam menjalani kehidupannya, hal ini kadang membuat sebagian dari mereka merasa stress dan frustasi. Masalah ini membuat manusia merasa perlu untuk sejenak melepaskan diri dari beban yang mereka hadapi dengan tujuan mengubah suasana hati dan pikiran mereka menjadi lebih tenang. Terdapat berbagai cara bagi manusia untuk mencapai suasana alam bawah sadar mereka yang tenang salah satunya dengan melakukan meditasi. Namun seiring berjalannya waktu, terjadi kekacauan sosial, dimana manusia mulai mencari cara singkat menghasilkan perubahan kesadaran dan ketenangan pikiran, terutama melalui penggunaan obat-obatan psikoadiktif. Dalam hal ini Wade dan Tavris membahas pengertian dan tujuan sebenarnya dari meditasi dan obat-obatan psikoadiktif serta mengidentifikasi hubungan di antara keduanya.
Buku karya Wade dan Tavris 2007 menyatakan bahwa terdapat budaya yang menganjurkan seseorang melakukan meditasi sebagai cara untuk menenangkan pikiran dan mendapatkan pencerahan spiritual. Meditasi itu sendiri merupakan kegiatan berdiam diri sambil memasuki alam bawah sadar, ini ditujukan untuk melepaskan diri dari alam kesadaran kita, mencapai euforia, serta memperoleh semangat baru. Dari usaha manusia mencapai ketenangan ini tercermin bahwa manusia membutuhkan waktu khusus untuk dirinya sendiri dan kesadarannya sama dengan kebutuhan mereka terhadap makan dan minum.
Di sisi lain, sebagian manusia mencari cara pengalihan kesadaran melalui obat-obatan psikoaktif. Obat-obatan psikoaktif adalah senyawa yang dapat mengubah persepsi, suasana hati, pikiran, ingatan, atau perilaku dengan cara mempengaruhi zat-zat biokimia dalam tubuh (Carol Wade and Carol Travis: Psychology). Obat-obatan psikoaktif dibagi ke dalam empat jenis, yaitu stimulan, depresan, opiat, dan obat-obatan psychedelic. Obat-obatan stimulant membuat pemakainya merasakan perasaan senang, percaya diri dan euphoria. Yang termasuk dalam kategori obat jenis ini adalah nikotin, kafein, kokain, amfetamin, dan hidroklorida metamfetamin. Obat-obatan depresan membuat pemakainya merasa tenang atau mengantuk,  meredakan kecemasan, meredakan rasa bersalah, dan meredakan rasa malu. Obat yang termasuk dalam kelompok ini adalah alkohol, obat penenang, barbiturate, dan sebagian zat kimia umum yang dihirup oleh beberapa orang. Obat-obatan opiat menimbulkan efek yang sama dengan obat-obatan stimulan namun opiat berfungsi meredakan rasa sakit. Yang termasuk kategori obat jenis ini adalah opium, morfin, heroin, dan methadone. Obat-obatan psychedelic mengganggu pikiran yang normal seperti halusinasi. Obat yang termasuk dalam jenis ini adalah mescaline dan psilocybin. Penggunaan obat-obatan psikoaktif yang walaupun berbeda jenis dan kegunaannya, namun tertuju pada satu tujuan yaitu untuk merubah kesadaran. Seolah mengatasi masalah yang terjadi dalam pikiran dan jiwa, namun justru membuat kesehatan jiwa dan raga terancam. Karena mengonsumsi obat-obatan psikoaktif secara rutin dapat membuat ketergantungan. Ketergantungan ini berupa ketergantungan psikologis dan fisiologis. Ketergantungan psikologis maksudnya adalah ketika seseorang yang telah terbiasa mengonsumsi obat-obatan psikoadiktif dalam jumlah besar berhenti mengonsumsi obat-obatan ini, maka mereka akan mengalami withdrawal atau akrab disebut dengan sakau. Sedangkan ketergantungan fisiologis dapat menyebabkan efek toleransi, dimana seiring dengan berjalannya waktu, semakin besar jumlah obat yang dibutuhkan untuk menghasilkan efek yang sama, hal ini dapat menyebabkan gangguan sel-sel syaraf pada otak juga dapat menyebabkan kematian.
Alasan seseorang menggunakan obat-obatan psikoaktif, yaitu untuk mengatasi kecemasan, mendapatkan ketenangan, bahkan untuk meningkatkan stamina merupakan alasan dan tujuan yang sama yang melatarbelakangi seseorang melakukan meditasi. Jika hal tersebut demikian, maka dapat kita identifikasikan bahwa meditasi dapat menjadi terapi yang ampuh mengatasi ketergantungan obat-obatan. Seseorang bisa mendapatkan ketenangan jiwa, merasa bersemangat, dan bahkan terhindar dari stress dengan cara yang tidak merugikan diri sendiri, seperti mengonsumsi obat-obatan psikoaktif, melalui meditasi. Orang-orang yang ketergantungan obat-obatan dapat sadar diketidaksadarannya melalui meditasi. Dengan meditasi, seseorang dapat mencapai titik spiritual tertinggi.
Dari penjelasan tentang meditasi dan obat psikoadiktif dinyatakan bahwa kegiatan meditasi dan penggunaan obat-obatan psikoadiktif pada dasarnya memiliki alasan yang sama, yaitu untuk mengubah kesadaran, mengatasi kecemasan, memperoleh ketenangan, serta untuk memperoleh stamina dan semangat baru. Berdasarkan tujuan yang sama tersebut dapat disimpulkan bahwa meditasi dapat berperan dalam mengurangi masalah ketergantungan obat.

ALASAN MEMILIH PSIKOLOGI


Psikologi menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 13 (1990) adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dan binatang baik yang dapat dilihat  secara langsung maupun yang tidak dapat dilihat secara langsung. Pernyataan ini adalah pengetahuan pertama saya tentang psikologi. Awalnya saya blum memahami banyak tentang ilmu ini, saya pun belum mengetahui pasti tujuan dan manfaat mempelajari ilmu tentang kehidupan manusia ini. 
Namun setelah membaca buku “Sukses Bukan Sebuah Kebetulan” karya Lair Ribeiro dan “Quantum Ikhlas” karya Erbe Sentanu yang memaparkan tentang keajaiban kekuatan pikiran manusia serta menekankan bahwa kekuatan terbesar ada dalam diri manusia itu sendiri, saya mulai menghubungkan sedikit demi sedikit isi buku ini dengan ilmu psikologi. Ternyata dengan kekuatan pikiran yang manusia miliki, mereka mampu mengubah hal-hal mustahil menjadi mungkin dan terlaksana. Namun kenyataannya, sedikit dari mereka yang mampu menggunakan kekuatan ini secara optimal. Dari pernyataan tersebut, saya tergerak untuk mendalami ilmu yang berkaitan dengan kehidupan manusia, yang mampu mengkaji kelebihan-kelebihan yang sesungguhnya terpendam jauh dalam diri manusia, sehingga nantinya saya mampu menciptakan keajaiban-keajaiban dengan cara saya sendiri.
Sebab lain adalah saya ingin menjadi agent of the change, agent of idea, and agent of resolution yang turut berpartisipasi dalam pengembangan kualitas generasi muda Indonesia, tidak hanya dalam bidang intelektual, namun juga dalam bidang emosional dan spiritual dengan dasar ilmu yang saya miliki. Saya pun akhirnya memilih prodi psikologi sebagai wadah yang paling tepat bagi saya dalam menuntut ilmu guna mewujudkan cita-cita dan mimpi saya di masa depan.

Perbedaan Laki-Laki dan Perempuan



Laki-laki dan perempuan selalu menjadi topik yang menarik untuk dibahas, khususnya pada masalah perbedaan diantara mereka. Masyarakat pada umumnya mengasumsikan perbedaan laki-laki dan perempuan hanya dari segi fisik serta status dan perannya masing-masing. Namun, pada dasarnya laki-laki dan perempuan memiliki banyak perbedaan yang lebih kompleks. Beberapa ilmuwan pun telah memberikan banyak hasil penelitian dan eksperimen mereka menyangkut perbedaan jenis kelamin ini. Berkaitan dengan hal tersebut, Wade & Tavris menuliskan perbedaan laki-laki dan perempuan dalam hal psikologis dan anatomis masing-masing.
Menurut para ahli sosiobiologi dalam Wade & Tavris (2007), dalam hal pasangan hidup, perempuan pada umumnya lebih selektif dalam memilih pasangan untuk menghasilkan gen terbaik, sebab mereka hanya mampu mengandung dan melahirkan keturunan dalam jumlah yang terbatas. Hal ini membuat para perempuan selalu bersikap waspada dan lebih menghargai komitmen dalam menentukan pilihan pasangan hidupnya. Berbeda dengan perempuan, lelaki cenderung tidak bersifat pemilih, biasanya mereka selalu berusaha untuk menyebarkan spermanya dan membuahi perempuan sebanyak mungkin untuk memperbanyak gen keturunan mereka.
Dari segi strategi seksual, laki-laki menginginkan seks lebih sering daripada pihak perempuan, dan selalu mencoba untuk mencari sesuatu yang baru dalam kehidupan seks mereka, sehingga laki-laki lebih cepat dalam berhubungan seks dengan orang yang tidak dikenalnya serta cenderung untuk mengganti-ganti pasangan seksual mereka sesering mungkin. Sedangkan perempuan biasanya bersifat setia pada satu pasangan dan lebih mementingkan stabilitas serta rasa aman.
Perbadaan antara laki-laki dan perempuan juga tampak dalam hal agresivitas. laki-laki cenderung jauh lebih agresif dibanding perempuan. Dimana tingkat kecemburuan dan sifat posesif lelaki lebih tinggi. Sebagai contoh saat pasangan mereka dianggap berselingkuh dengan laki-laki lain, ia tidak bisa yakin apakah anak-anak yang dilahirkan nantinya merupakan keturunan mereka. Laki-laki pun lebih sering menggunakan kekerasan fisik dalam menyelesaikan masalah dibandingkan kaum perempuan, sebab sifat dasar laki-laki memang jauh lebih keras dibandingkan dengan perempuan yang cenderung bersifat lemah dan lembut.
Dalam sebuah penelitian otak, para peneliti juga menemukan beberapa perbedaan struktur otak laki-laki dan perempuan, dimana terdapat sebuah bagian korteks frontal perempuan yang lebih besar daripada laki-laki, perempuan pun memiliki lebih banyak lipatan kortikal di lobus frontal dan lobus parietal.
Penelitian lanjutan mengenai otak ini pun menemukan perbedaan antara laki-laki dan perempuan menyangkut lateralisasi dalam menyelesaikan tugas-tugas yang berkaitan dengan bahasa. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa perempuan cenderung melibatkan dua hemisfer dari otak dalam menyelesaikan tugas, khususnya yang melibatkan bahasa, sedangkan laki-laki lebih banyak melibatkan salah satu sisi otak saja. Hal ini disebabkan karena perempuan memiliki 11 persen lebih banyak sel di area korteks yang berkaitan dengan pemrosesan informasi auditif dibandingkan dengan laki-laki, ini membuat kaum perempuan memiliki kemampuan verbal yang lebih tinggi dibandingkan dengan kaum laki-laki.
Dari beberapa penjabaran di atas, dapat diketahui bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan tidak hanya dari segi fisik serta status dan perannya masing-masing dalam bermasyarakat. Namun terdapat pula perbedaan yang lebih kompleks diantara mereka dalam hal pemilihan pasangan hidup, strategi seksual, tingkat agresivitas, struktur otak, dan bahkan menyangkut lateralisasi dalam menyelesaikan tugas-tugas yang berkaitan dengan bahasa.

KEKERASAN DALAM TAYANGAN ANAK-ANAK DI TELEVISI


Latar Belakang
Perkembangan teknologi informasi saat ini telah memasuki era tanpa batas (borderless). Setiap orang termasuk anak-anak dapat mengakses informasi melalui beragam bentuk media, termasuk televisi. Tayangan anak  merupakan satu dari sekian banyak program tayangan yang disuguhkan di layar kaca. Program tersebut pada dasarnya ditujukan bagi anak-anak agar mereka mendapat nilai-nilai positif  bagi perkembangan dirinya, seperti nilai agama, pendidikan, budi pekerti, dan moral.
Sesuai dengan tingkat perkembangannya, anak-anak memiliki kecenderungan untuk meniru apapun yang mereka lihat dari lingkungannya tanpa mempertimbangkan sisi baik atau buruk dan manfaat atau kerugian yang ditimbulkan dari tayangan yang ditontonnya. Hal ini terjadi karena anak-anak belum cukup memiliki daya pikir yang kritis sehingga mudah percaya dan terpengaruh oleh isi dan materi media yang dikonsumsinya. Itulah sebabnya, mereka memerlukan hiburan yang khusus dibuat untuk anak yaitu hiburan yang memperhatikan berbagai kebutuhan mereka.
Pada kenyataannya, saat ini tayangan yang terkandung dalam media layar kaca kerap menimbulkan perdebatan. Beberapa dari tayangan yang disajikan khusus untuk anak-anak malah mengandung unsur-unsur negatif yang justru membawa pengaruh buruk bagi perkembangan diri dan mental anak. Salah satu pengaruh buruk televisi adalah pada penyebaran nilai-nilai kekerasan yang terdapat dalam tayangan tersebut. Berdasarkan pada masalah ini, kami tertarik untuk memberikan gambaran tentang beberapa tayangan anak-anak di televisi yang mengandung unsur kekerasan.

Landasan Teori
A.    Definisi Kekerasan
Menurut Wikipedia, kekerasan berasal dari bahasa Latin: violentus yang berasal dari kata  atau vīs berarti kekuasaan atau berkuasa. Kekerasan dalam prinsip dasar hukum publik dan privat Romawi merupakan sebuah ekspresi baik yang dilakukan secara fisik ataupun secara verbal yang mencerminkan pada tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat seseorang yang dapat dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang umumnya berkaitan dengan kewenangannya, yaitu jika diterjemahkan secara bebas dapat diartikan bahwa semua kewenangan tanpa mengindahkan keabsahan penggunaan atau tindakan kesewenang-wenangan itu dapat pula dimasukan dalam rumusan kekerasan ini.
B.     Keragaman Jenis Kekerasan
§  Kekerasan yang dilakukan perorangan, dapat berupa perlakuan kekerasan menggunakan fisik dengan indikator menggunakan tangan kosong, menggunakan senjata atau alat-alat lain,  (kekerasan seksual, memukul, menampar, menyakiti secara fisik, atau melibatkan anggota tubuh maupun alat lain untuk menyakiti fisik seseorang), kekerasan verbal dengan indikator membentak, memaki dan berkata-kata kasar, atau kekerasan psikologis dengan indikator menghina, merendahkan, melakukan tindakan yang bertujuan untuk melecehkan seseorang dalam lingkup lingkungannya.
§  Kekerasan yang dilakukan oleh negara atau kelompok, yang oleh Max Weber didefinisikan sebagai monopoli, legitimasi untuk melakukan kekerasan secara sah, yakni dengan alasan untuk melaksanakan putusan pengadilan, menjaga ketertiban umum atau dalam keadaan perang yang dapat berubah menjadi semacam perbuatan terorisme yang dilakukan oleh negara atau kelompok yang dapat menjadi salah satu bentuk kekerasan ekstrem (antara lain, genosida, dll.).
§  Tindakan kekerasan yang tercantum dalam hukum publik yakni tindakan kekerasan yang diancam oleh hukum pidana (sosial, ekonomi atau psikologis).
§  Kekerasan dalam politik merupakan tindakan kekerasan dengan suatu klaim legitimasi bahwa mereka dapat melakukannya dengan mengatasnamakan suatu tujuan politik (revolusi, perlawanan terhadap penindasan, hak untuk memberontak atau alasan pembunuhan terhadap Raja Lalim) walaupun tindakan kekerasan dapat dibenarkan dalam teori hukum untuk pembelaan diri atau oleh doktrin hukum dalam kasus perlawanan terhadap penindasan di bawah tirani dalam doktrin hak asasi manusia.
§  Kekerasan simbolik, merupakan tindakan kekerasan yang tak terlihat atau kekerasan secara struktural dan kultural. Dalam beberapa kasus dapat pula merupakan fenomena dalam penciptaan stigmatisasi.
Kekerasan antara lain dapat pula berupa pelanggaran (penyiksaanpemerkosaanpemukulan, dll.) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain maupun binatang. Istilah kekerasan juga berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak.

Hasil Penelitian
Dari hasil pengamatan secara langsung yang kami lakukan pada tayangan anak-anak di televisi maka diperoleh data sebagai berikut.
No
Tayangan
Jenis Kekerasan
1
Tom dan Jerry
-          Kekerasan fisik
-          Kekerasan verbal
2
Popeye
-          Kekerasan fisik
-          Kekerasan verbal
-          Kekerasan  psikologis

Dari tabel tayangan televisi yang mengandung unsur kekerasan dapat diketahui bahwa tayangan anak-anak Tom dan Jerry yang ditayangkan pada salah satu stasiun televisi di Indonesia mengandung unsur kekerasan. Tayangan yang berdurasi 12 menit ini menunjukkan adanya tujuh belas kali tindak kekerasan fisik dengan rincian tujuh kali kekerasan yang dilakukan Tom kepada Jerry, sembilan kali kekerasan yang dilakukan Jerry terhadap Tom, serta satu kali kekerasan yang dilakukan majikan Tom terhadap Tom. Kekerasan yang dilakukan Tom kepada Jerry berupa kekerasan fisik dengan menggunakan alat maupun tidak menggunakan alat. Kekerasan tampak pada saat Tom memukul Jerry dengan alat-alat kebun seperti sekop dan cangkul serta saat Tom memukul kepala Jerry dan melemparnya ke tempat yang jauh. Kekerasan yang Jerry lakukan terhadap Tom dapat saksikan pada saat Jerry menusuk mata Tom dengan menggunakan wortel  dan pada saat Jerry menusuk bokong Tom dengan menggunakan benda tajam. Kekerasan fisik berikutnya dilakukan oleh majikan Tom kepada Tom. Kekerasan yang dilakukan majikan Tom tampak pada saat dia memukul kepala Tom dengan sapu. Dalam tayangan ini juga terdapat unsur kekerasan verbal yang dimunculkan sebanyak dua kali, yaitu pada saat majikan Tom memarahi Tom sambil mengucapkan kata-kata kasar contohnya “bodoh dan tidak berguna”.
Unsur kekerasan dalam tayangan anak-anak juga terlihat pada tayangan Popeye. Kartun Popeye yang berdurasi 20 menit ini menampilkan tindakan-tindakan kekerasan secara fisik, seperti pada saat Brutus melemparkan batu besar ke tubuh Popeye serta pada saat Popeye memukul dan menendang Brutus hingga Brutus terlempar ke laut. Berdasarkan pengamatan, kekerasan fisik dalam tayangan ini dimunculkan sebanyak delapan kali, dengan rincian lima kali serangan dari Brutus dan tiga kali serangan balik dari Popeye. Dalam kartun Popeye juga terdapat unsur kekerasan verbal yang dimunculkan sebanyak dua kali, yaitu pada saat Brutus mengucapkan kata sialan dan kurang ajar. Unsur kekerasan berikutnya dalam tayangan ini adalah kekerasan psikologis, seperti pengucapan kata-kata yang melecehkan Popeye seperti kata kurus dan jelek. Brutus juga mengatakan bahwa Popeye tidak sekaya dirinya, Popeye juga sempat dikatakan sebagai pria gagal dan tidak pantas untuk Olive. Kata-kata Brutus membuat Popeye bersedih, hal ini terlihat dari ekspresi wajah Popeye saat menanggapi kata-kata Brutus.  Kekerasan semacam ini dimunculkan sebanyak tiga kali dalam sekali tayang.

Kesimpulan
Dari hasil pengamatan langsung yang dilakukan terhadap tayangan anak-anak di televisi dapat di simpulkan bahwa tayangan Tom dan Jerry mengandung unsur-unsur kekerasan berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal. Kartun Popeye juga mengandung unsur kekerasan fisik, verbal dan psikologis. Frekuensi kemunculan adegan kekerasan dalam kedua tayangan ini sangat tinggi, sehingga membuat tayangan-tayangan ini kurang baik bagi perkembangan anak. Tayangan Popeye serta Tom dan Jerry sebenarnya cukup menghibur dan seru bagi anak-anak, namun dalam tayangan tersebut terkandung unsur-unsur negatif yang dapat berpengaruh dalam proses perkembangan anak.
  

Daftar Pustaka


Fadhilah, N. A. (2011, Maret 4). Kekerasan dalam Tayangan Anak-anak di Televisi: Kompasiana. Retrieved Desember 10, 2012, from Kompasiana Web site: http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2011/03/04/kekerasan-dalam-tayangan-anak-anak-di-televisi/
Wikipedia. (n.d.). Kekerasan: Wikipedia. Retrieved Desember 9, 2012, from Wikipedia Web site: http://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan


Homoseksual, Nature or Nurture?


Dalam beberapa tahun terakhir ini, penyimpangan dalam masyarakat sering menjadi topik yang hangat untuk diperbincangkan. Menurut jurnal kedokteran Amerika (Suyatno, 2009) salah satu contoh kasus penyimpangan adalah fenomena homoseksual. Secara normal, setiap orang akan merasa tertarik kepada orang lain dengan jenis kelamin yang berbeda, yaitu antara pria dan wanita. Keadaan tersebut kemudian menjadi menyimpang ketika ketertarikan secara seksual bukan lagi terhadap lawan jenis, tetapi kepada sesama jenis. Yang menjadi perdebatan saat ini adalah apakah homoseksual disebabkan oleh gen dan karakteristik dasar yang ada sejak lahir (nature) atau disebabkan oleh keadaan lingkungan dan pengalaman hidup (nurture).
Homoseksualitas adalah hubungan atau rasa ketertarikan seksual antara individu berjenis kelamin yang sama. Istilah umum dalam homoseksualitas yang sering digunakan adalah lesbian untuk perempuan pecinta sesama jenis dan gay untuk pria pecinta sesama jenis. Perilaku homoseksual dianggap sebagai sebuah kelainan, bahkan sebagai sebuah penyakit. Pada tahun 1973, American Psychiatric Assosiation (APA), menyatakan bahwa perilaku homoseksual bukanlah sebuah kelainan, melainkan sebuah orientasi seksual atau pilihan (preference).
Dalam penelitian biologis yang dilakukan oleh Dean Hammer ditemukan bahwa homoseksualitas disebabkan oleh kelainan genetis. Kelainan itu terjadi pada suatu segmen kromosom X yang diwariskan oleh ibu dan diberi kode Xq 28. Hammer mendeteksi kelainan di kromosom Xq 28 pada 33 pasang pria homoseksual. Beberapa tahun kemudian George Rice, peneliti dari Universitas Northwestern, Ontario, Kanada, menemukan bahwa pada pria gay yang ditelitinya, ternyata tak dijumpai keanehan pada kromosom Xq 28. Penemuan itu diperolehnya setelah meneliti 52 pasangan gay, yang ternyata frekuensi Xq 28 sangat sedikit ditemukan, namun Rice tidak membuktikan bahwa temuan Hammer salah, sebab kedua penelitian itu sama-sama berskala kecil, sedangkan gen yang spesifik sangat sulit ditemukan. Rice sendiri mengakui, dia tidak hendak meniadakan hipotesis bahwa homoseksual berhubungan dengan faktor genetis. Ia hanya menemukan bahwa Xq 28 bukanlah segmen yang berhubungan dengan orientasi seksual kepada teman sejenis. Oleh karena itu, penelitian faktor genetis pencetus homoseksual harus dilanjutkan. Di sisi lain dia sangat yakin dengan temuannya, terutama karena ia telah melakukan dua studi lanjutan yang memperkuat penelitian sebelumnya. Karena itu, penelitian Rice diartikan sebagai bukti bahwa tidak semua kasus homoseksual disebabkan oleh Xq 28.
Di sisi lain beberapa ahli teori sosial berpendapat bahwa faktor lingkungan dan pengalaman merupakan faktor utama dalam pembentukan perilaku dan kepribadian seseorang  termasuk dalam orientasi seksual. Mereka berpendapat bahwa homoseksual disebabkan oleh kelainan pola asuh yang mempengaruhi perkembangan psikoseksual pada masa kecil, kebiasaan yang berakar pada budaya setempat, pelecehan seksual, pengaruh pergaulan atau sejarah hidup buruk lainnya mempengaruhi orientasi seksual. Pendapat ini didasari oleh argument Sigmund Freud, Psikoanalisis dari Austria 1905 yang menyatakan bahwa setiap manusia lahir biseksual, di mana dengan terjadinya pengaruh perkembangan hidupnya bisa hetero atau menjadi homoseksual, karena Indentitas sosial dan psikologi setiap manusia dipengaruhi oleh lingkungan hidup serta pengalamannya.
Setelah mempelajari beberapa penyebab homoseksual baik biologis maupun sosial, diketahui bahwa belum ada satu teori atau percobaan yang mengarah ke jawaban pasti, namun dari pemaparan beberapa fakta mengenai homoseksualitas dapat disimpulkan bahwa penyebab utama homoseksual disebabkan oleh lingkungan serta faktor-faktor penentu perkembangan kondisi psikis. Penyimpangan biologis pun dapat menjadi potensi yang berbahaya dalam mendukung penyimpangan seksualitas secara tidak langsung.









Daftar Pustaka


Fadilah, N. A. (2011, Maret 3). Homoseksualitas, Nature atau Nurture: Kompasiana. Retrieved 12 4, 2012, from Kompasiana: www.kesehatan.kompasiana.com/seksologi/2011/03/03/homoseksualitas-nature-atau-nurture/
Homoseksual: Wikipedia. (n.d.). Retrieved Desember 4, 2012, from Wikipedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Homoseksualitas
Mustika, A. (2009, November 22). Homoseksualitas, Nature or Nurture? Retrieved Desember 4, 2012, from Scribd: http://id.scribd.com/doc/52006502/Homoseksual-Nature-or-Nurture
Suyatno, I. M. (2009, November 14). Penyimpangan Seksual: Komunitas Blog Undip. Retrieved Desember 16, 2012, from Komunitas Blog Undip: http://suyatno.blog.undip.ac.id/2009/11/14/penyimpangan-seksual/
Wade, C., & Tavris, C. (2007). Psikologi. In C. Wade, & C. Tavris, Gen, Evolusi, dan Lingkungan (pp. 75-76). Jakarta: Erlangga.

Gambaran Stress dan Coping pada Mahasiswa Baru



Latar Belakang
Masa transisi dari sekolah menengah atas ke dunia universitas merupakan masa yang sulit. Disebut masa yang sulit sebab dalam masa ini seseorang dihadapkan dengan sejumlah perubahan terkait dengan pemikiran, hubungan dengan orang lain, dan sistem pembelajaran baru. Mahasiswa baru merupakan status yang disandang oleh mereka yang berada dalam masa tersebut.  Memasuki dunia perkuliahan merupakan suatu perubahan besar pada hidup seseorang. Biasanya individu mengalami banyak perubahan kondisi ditahun pertamanya ketika memasuki perguruan tinggi. Hal ini terkait dengan penyesuaian diri yang merupakan masalah berat yang harus dihadapi setiap individu ketika memasuki dunia kuliah.
Dalam proses penyesuaian diri terhadap dunia perkuliahan, mahasiswa terkadang mengalami banyak kendala yang membuat mereka stress. Penyebab stress tersebut berbeda setiap individu. Mereka harus menghadapi norma dan budaya baru, teman kelompok baru, tugas yang banyak, serta perubahan gaya hidup yang menuntut waktu serta self control yang lebih banyak dibandingkan pada masa sekolah menengah atas.
Untuk bertahan dari kondisi stress, mahasiswa baru memerlukan suatu strategi yang disebut dengan strategi coping. Coping diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan individu dalam menghadapi situasi penyebab stress. Coping memiliki dua fungsi, yaitu menyelesaikan masalah yang menyebabkan stress dan mengatur respon emosi dalam menghadapi stress tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas, saya tertarik untuk melakukan penelitian terhadap beberapa masalah penyebab stress pada mahasiswa baru di Universitas Paramadina dan analisis strategi coping yang mereka lakukan untuk menghadapi stressor tersebut.
Landasan Teori
A.    Stress
Terdapat tiga defenisi stress dalam tiga konteks yaitu sebagai respon, sebagai stimulus dan transaksional. Menurut Seyle (Sholichatun, 2011) respon stress organisme mewakili serangkaian respon fisiologis yang bersifat umum, yang dialami oleh semua organisme yang bertemu dengan tantangan atau kesulitan. Berdasarkan perspektif ini, respon stress tidak bersifat spesifik, hal ini dikarenakan tipe stressor yang dialami tidak mempengaruhi pola respon. Seyle mengistilahkan respon non spesifik ini dengan General Adaption Syndrome yang terdiri dari tiga fase yaitu alarm reaction, resistance, dan exhaustion
Respon stress individu terhadap stressor lingkungan dapat ditunjukkan dari kondisi fisiologis, kognitif, afektif serta perilakunya (Sholichatun, 2011). Secara fisiologis respon stress yang ditunjukkan oleh individu misalnya ketegangan otot serta rendahnya kondisi imunitas yang ditandai dengan mudahnya terjadi infeksi bakteri atau virus. Respon stress secara kognitif ditunjukkan dalam melemahnya konsentrasi, cemas, serta keputusasaan atau pesimisme. Respon stress secara perilaku tampak dalam kecendrungan agresi, mudah tersinggung, serta menarik diri. Sedangkan respon stress secara afektif ditampakkan dalam bentuk kemarahan, rasa bersalah dan rasa takut.
Nevid menggunakan stress sebagai sebuah stimulus (Sholichatun, 2011). Menurut Nevid perubahan hidup dapat menjadi sumber stress bila perubahan tersebut menuntut individu untuk menyesuaikan diri. Perubahan hidup dapat berupa peristiwa atau kondisi yang menyenangkan maupun menyedihkan.
Perspektif ketiga dalam mendefenisikan stress bertolak dari pandangan bahwa stress merupakan interaksi individu dengan lingkungan, ketika bahaya dan ancaman lingkungan tinggi sementara kemampuan dan sumber daya yang dimiliki individu rendah maka akan menimbulkan stress pada individu yang bersangkutan. Lazarus dan Folkman menjelaskan tentang teori transaksional stress (Sholichatun, 2011) yang menekankan pentingnya stressor maupun respon stress dalam menjelaskan hubungan antara stress dan kondisi akibat stress. Menurut teori ini stress dapat menjadi stressor baru yang memunculkan respon stress yang lebih intens. Bukan hanya stressor semata yang mempengaruhi stress tetapi juga respon individu yang membatasi apakah sebuah siklus reaksi stress akan berkembang. Penilaian terhadap realitas merupakan faktor penentu pula apakah kondisi kehidupan yang dihadapi akan memunculkan stress atau tidak. Karena itu stress didefinisikan sebagai sebuah hubungan antara kejadian-kejadian atau kondisi-kondisi lingkungan dengan penilaian kognitif individu terhadap tingkat dan tipe tantangan, kesulitan, kehilangan maupun ancaman (Sholichatun, 2011).
B.     Coping
Menurut Greenglass, et al (Kertamuda & Herdiansyah, 2009), perilaku coping yaitu suatu cara yang dilakukan individu untuk menghadapi dan mengantisipasi situasi serta kondisi yang bersifat menekan atau mengancam baik fisik maupun psikis.
 Lazarus dan Folkman (Kertamuda & Herdiansyah, 2009) juga turut mengemukakan pendapatnya mengenai istilah coping. Lazarus dan Folkman mendefinisikan coping sebagai upaya merubah domain kognitif dan perilaku secara konstan untuk mengatur dan mengendalikan tuntutan dan tekanan eksternal maupun internal yang diprediksi akan dapat membebani dan melampaui kemampuan dan ketahanan individu yang bersangkutan.
Selanjutnya Taylor (Kertamuda & Herdiansyah, 2009) menambahkan mengenai tuntutan eksternal maupun internal yang dihadapi individu. Taylor berpendapat bahwa pengaturan terhadap tuntutan eksternal dan internal pada individu tersebut meliputi usaha untuk menguasai kondisi yang ada, menerima kondisi yang dihadapi, melemahkan atau memperkecil masalah yang dihadapi.
Dari beberapa pengertian mengenai coping di atas, dalam penelitian ini disimpulkan bahwa strategi coping adalah suatu proses tertentu yang disertai dengan suatu usaha yang dilakukan individu untuk menghadapi dan mengantisipasi situasi dan kondisi yang bersifat menekan atau mengancam baik fisik maupun psikis yang diprediksi akan dapat membebani dan melampaui kemampuan serta ketahanan individu yang bersangkutan. Proses tersebut dapat berupa menguasai kondisi yang ada, menerima kondisi yang dihadapi, melemahkan atau memperkecil masalah yang dihadapi.


C.    Bentuk-Bentuk Strategi Coping
Dari berbagai bentuk strategi coping yang dilakukan, para ahli mencoba merangkum dan merumuskannya menjadi suatu teori tentang strategi coping. Salah satu teori yang populer mengenai strategi coping adalah teori yang dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman. Menurut Lazarus dan Folkman (Kertamuda & Herdiansyah, 2009), secara umum, strategi coping dibagi ke dalam dua kategori utama yaitu :
1.      Problem-focused coping
Merupakan salah satu bentuk coping yang lebih berorientasi pada pemecahan masalah, meliputi usaha-usaha untuk mengatur atau mengubah kondisi objektif yang merupakan hambatan dalam penyesuaian diri atau melakukan sesuatu untuk mengubah hambatan tersebut. Problem focused coping merupakan strategi yang bersifat eksternal. Dalam problem focused coping orientasi utamanya adalah mencari dan menghadapi pokok permasalahan dengan cara mempelajari strategi atau keterampilan-keterampilan baru dalam rangka mengurangi stressor yang dihadapi atau dirasakan.
2.      Emotion-focused coping
Merupakan usaha-usaha untuk mengurangi atau mengatur emosi dengan cara menghindari berhadapan langsung dengan stressor. Emotional focused coping merupakan strategi yang bersifat internal. Dalam emotional focused coping, terdapat kecendrungan untuk lebih memfokuskan diri dan melepaskan emosi yang berfokus pada kekecewaan ataupun distress yang dialami dalam rangka untuk melepaskan emosi atau perasaan tersebut. Carver (Kertamuda & Herdiansyah, 2009) menjelaskan bahwa respon lain yang diyakini sebagai bagian dari emotional focused coping adalah ketidaksesuaian perilaku (behavioral disengagement). Behavioral disengagement merupakan upaya seseorang untuk mengurangi stressor dengan cara menyerah pada situasi. Behavioral disengagement seringkali diistilahkan sebagai ketidakberdayaan. Ketidakberdayaan ini akan diikuti oleh ketidaksesuaian mental (mental disengagement), individu dalam hal ini biasanya melakukan aktivitas yang tidak ada hubungannya dengan permasalahan yang sedang dihadapi, misalnya, mendengar musik, menonton, dan lain sebagainya.
Hasil Wawancara
Untuk mengetahui penyebab dan cara mereka bertahan dalam menghadapi stress pada mahasiswa baru, maka dilakukan wawancara kepada tiga partisipan yang merupakan mahasiswa baru di Universitas Paramadina dan diperoleh hasil sebagai berikut :
Partisipan
Stressor
Coping Strategies
Jenis Coping Strategies
A
(perempuan)
1.      Banyak tugas
Mendengarkan musik
Emotional focused
2.      Panitia pada Event Management Cup
Ikut menonton pertandingan
Problem focused
3.      Rindu keluarga
Shalat malam
Emotional focused
B
(laki-laki)
1.      Tugas deadline
Berkumpul dan main dengan teman
Emotional focused
2.      UTS
Mendengar musik, menonton, dan main PS
Emotional focused
3.      Belum bisa melupakan mantan
Mendengar lagu yang menyimpan kenangan tersendiri dengan mantan
Emotional focused
C
(perempuan)
1.      UTS
Menonton
Emotional focused
2.      Masalah dengan pacar
Menelfon teman
Emotional focused
3.      Tempat tinggal yang kurang nyaman
Tidur
Emotional focused


Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa partisipan A memilih strategi emotional focused coping dalam menghadapi tugas-tugas kuliah yang menumpuk, yaitu dengan cara mendengarkan musik. Hal ini dilakukannya dengan tujuan menenangkan pikiran. Selain masalah tugas, partisipan A juga sering merasakan kerinduan kepada orang tuanya di desa, dia pun memilih strategi emotional focused coping dalam menghadapi stressor ini, yaitu dengan melaksanakan shalat malam yang bertujuan untuk menenangkan hati dan pikirannya. Stressor selanjutnya yang dirasakan partisipan A bersumber dari keikutsertaannya dalam kepanitiaan Event Management Cup yang dilaksanakan oleh pihak kampus. Hal ini merupakan stressor baru bagi partisipan A, sebab dia belum pernah terlibat dalam kegiatan sejenis ini di bangku sekolah. Partisipan A pun memilih strategi problem focused coping dalam menghadapi urusan kepanitiaan ini, yaitu dengan cara ikut menonton dan menikmati permainan yang berlangsung dengan tujuan mengurangi stress yang dirasakan.
Pada partisipan B, tugas kuliah yang lebih banyak dibandingkan dengan tugas semasa SMA merupakan salah satu stressor beberapa minggu belakangan ini. Sama dengan partisipan A, partisipan B pun memilih strategi emotional focused coping dalam menghadapi masalah tugas perkuliahan. Partisipan B memilih berkumpul, bermain dan bersenang-senang bersama teman-temannya untuk mengurangi beban pikirannya. UTS juga menjadi salah satu stressor pada partisipan B, dimana sistem penilaian ujian di dunia perkuliahan yang lebih menuntut pendapat pribadi sangat jauh berbeda dengan sistem penilaian di masa SMA yang masih berpedoman pada teori. Partisipan B memilih strategi emotional focused coping dalam menghadapi masalah UTS, yaitu dengan mendengarkan musik, menonton televisi seharian, atau bermain PS. Partisipan B melakukan hal ini dengan tujuan menenangkan dan mengalihkan pikiran sejenak dari masalah UTS. Stressor yang dialami partisipan B selanjutnya adalah mantan. Sampai saat ini partisipan B belum bisa melupakan mantan kekasihnya. Partisipan B memilih strategi emotional focused coping dalam meghadapi masalah yang satu ini, yaitu dengan mendengarkan lagu-lagu yang memiliki kenangan tersendiri dengan sang mantan. Hal ini bertujuan untuk menenangkan perasaannya dan mengontrol emosi negatif yang ada dalam benaknya.
Selanjutnya, diketahui bahwa partisipan C memilih strategi emotional focused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang membuatnya merasa stress. Sama halnya dengan partisipan B, partisipan C juga mengeluhkan masalah UTS yang dianggapnya sangat sulit. Partisipan C mengalihkan pikirannya dari masalah UTS yang membuatnya stress dengan cara menonton televisi. Selain masalah UTS, partisipan C juga mengalami masalah dengan pacarnya. Dia memilih menyibukkan diri dengan menelfon teman untuk mencegah perkembangan emosi-emosi negatif  dan untuk mengalihkan perhatiannya dari masalah dengan pasangan (pacar). Masalah yang dihadapi partisipan C selanjutnya adalah masalah tempat tinggal (asrama). partisipan C beranggapan tempat tinggalnya terasa sempit dan tidak nyaman. Menghadapi masalah ini, partisipan C masih tetap mengandalkan emotional focused coping, dia pun memilih tidur dalam menghadapi masalah ketidaknyamanan tempat tinggal ini. Kegiatan ini bertujuan untuk mengalihkan pikirannya dari hal-hal yang mungkin bisa membuat tingkat stressnya semakin parah.
Kesimpulan
Dari hasil wawancara yang dilakukan pada tiga mahasiswa baru dapat disimpulkan bahwa sebagian besar penyebab stress yang mereka hadapi berkaitan dengan masa transisi mereka dari sekolah menengah atas ke dunia universitas. Penyebab stress tersebut yaitu tugas, UTS, dan kegiatan perkuliahan. Tugas membuat mereka stress sebab tugas yang diperoleh pada bangku perkuliahan tidak semudah tugas yang mereka dapatkan saat masih duduk di bangku sekolahan. UTS dan kegiatan perkuliahan yang mereka jalankanpun memiliki sistem yang berbeda dengan kegiatan semasa SMA. Oleh karena itu mahasiswa baru harus mulai beradaptasi dengan penyebab stress tersebut, agar stress tersebut dijadikan sebuah kebiasaan yang  mereka hadapi di dunia universitas.
Sebagian besar dari mahasiswa baru ini memilih strategi emotional focused coping dalam menghadapi stressor-stressor yang mereka jumpai. Hal ini mereka lakukan dengan tujuan menenangkan pikiran dan mengalihkan perhatian dari masalah-masalah yang mungkin bisa memicu emosi negatif.





Daftar Pustaka
Kertamuda, F., & Herdiansyah, H. (2009). Pengaruh Strategi Coping terhadap Penyesuaian Diri Mahasiswa Baru. Jurnal Universitas Paramadina, Vol.06, No. 01;  11-23.
Yulia, S. (2011). Stress dan Strategi Coping pada Anak Didik di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Jurnal Psikologi Islam, Vol.08, No. 01; 23-42.